Sunday, November 15, 2009

JASA HUTAN SEBAGAI PENYERAP KARBON

JASA HUTAN SEBAGAI PENYERAP KARBON

Peranan Hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas.


Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). Di antara GRK penting yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Dengan kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti diuraikan diatas, peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan.

Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra (Kyrklund, 1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.

Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses :

a. Evapotranspirasi

b. Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi.

2. Menambah titik-titik air di atmosfer.

3. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi.

4. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat :

a. Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan

b. Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan.

5. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah.

Semua peran vegetasi tersebut bersifat dinamik yang akan berubah dari musim ke musim maupun dari tahun ke tahun. Dalam keadaan hutan yang telah mantap, perubahan peran hutan mungkin hanya nampak secara musiman, sesuai dengan pola sebaran hujannya.

Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air sebagai air intersepsi. Sampai saat ini intersepsi belum dianggap sebagai faktor penting dalam daur hidrologi. Bagi daerah yang hujannya rendah dan kebutuhan air dipenuhi dengan konsep water harvest maka para pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) harus tetap memperhitungkan besarnya intersepsi karena jumlah air yang hilang sebagai air intersepsi dapat mengurangi jumlah air yang masuk ke suatu kawasan dan akhirnya mempengaruhi neraca air regional. Dengan demikian pemeliharaan hutan yang berupa penjarangan sangat penting dilaksanakan sesuai frekuensi yang telah ditetapkan.

Peran menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab kekawatiran masyarakat adalah evapotranspirasi. Beberapa faktor yang berperanan terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan ketersediaan air di dalam tanah atau sering disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya evapotranspirasiEvapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah, lapisan/tebal tanah dangkal dan sifat batuan yang tidak dapat menyimpan air.

Peran ketiga adalah kemampuan mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah), karena memiliki rongga-rongga yang dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat porous. Bagian lengas tanah yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis, gravitasi atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana tanaman dapat mengekstrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik layu ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat kelembaban titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah. Jumlah air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk menentukan nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan.

Peran ke empat adalah dalam pengendalian aliran (hasil air). Kebanyakan persoalan distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhir-akhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercayai bahwa hutan yang baik mampu mengendalikan daur air artinya hutan yang baik dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam kawasan hutan yang baik tetap mengalir pada musim kemarau.

Pada kawasan hutan Pinus di Daerah Tangkapan Air Gunung Rahtawu, Kabupaten Wonogiri dengan luasan catchment area dengan luas 101,79 ha dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 2900 – 3500 mm/tahun mampu menghasilkan potensi sumberdaya air permukaan sebesar 2..232.000 m3/tahun. Kawasan ini juga mampu menghasilkan debit yang selalu tersedia untuk dimanfaatkan (debit andalan) sebesar 2 – 67 liter/detik. Dari potensi ini saja sebenarnya sudah dapat diprediksi bahwa kawasan hutan Pinus ini mampu mendukung 900 – 2.000 jiwa masyarakat disekitar hutan Pinus yang rata-rata membutuhkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebesar 122 liter/orang/hari (Suryatmojo, H., 2004).

Dari gambaran diatas, nampak jelas bahwa peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui kemampuannya sebagai regulator air memiliki nilai arti yang sangat penting dalam mendukung hajat hidup masyarakat disekitar hutan.


No comments:

Post a Comment