Sunday, November 15, 2009

Pengelolaan Hutan Tanaman

Pengelolaan Hutan Tanaman

Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilaku­kan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing factor (pupuk, pesti­sida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan out­put utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman ma­sih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa integritas eko­sistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penu­runan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soe­kotjo:1999).

Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produk­tivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagai­nya. Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan 36 - 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi men­jadi bencana besar bagi pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva & Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture Organi­zation of The United Nations) juga melaporkan kondisi se­rupa di banyak negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries: 1985).


Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tinggi­nya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai berikut:
1. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan se­hingga struktur hutan yang terbentuk selalu mono­kultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional
2. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi), sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan
3. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran ta­pak hutan yang ditandai dengan penurunan produk­tivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus di­ganti dengan jenis tanaman lain
4. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.

Dalam jangka panjang harus sudah dimulai penge­lolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan ke­lembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan me­nyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelola­an hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkung­an yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan.

No comments:

Post a Comment