Perspektif Silvika Dalam Pengelolaan Hutan
Tujuan pengelolaan hutan seperti yang dimaksud dalam UU No. 41 tahun 1999 ini mengisyaratkan bahwa produk hutan sudah semestinya bukan didasarkan atas kayu saja, melainkan produk seluruh potensi ekosistem hutan sesuai kemampuan optimal ekosistem yang bersangkutan secara lestari. Sudah harus dimulai bahwa penentuan AAC (annual available cut) ditentukan bukan berdasarkan pada konsumsi kayu (baik legal maupun illegal cutting), akan tetapi lebih pada kemampuan ekosistem hutan dan atau kesejahteraan masyarakat sekitar.
Perhitungan Jatah Tebangan Tahunan (AAC) didasarkan atas total volume kayu komersial (diukur melalui inventarisasi) yang dikalikan dengan ‘faktor eksploitasi 0,8 dan kemudian dengan ‘faktor keamanan 0,7 (total 0,56) serta membagi jumlah total dengan 35 tahun. Sistem ini merupakan bentuk pengaturan hasil, namun angkanya bersifat statis dan tidak didasarkan pada karakteristik areal hutan bersangkutan. Dalam banyak hal, ini telah mengakibatkan terjadinya pemanenan berlebih (overcutting atau undercutting). Selain itu, kegiatan inventarisasi seringkali terlalu menekankan pada keberadaan jenis komersial, dan faktor eksploitasi yang diukur di lapangan adalah 0,5 (Matikainen, Herika & Muntoko, 1998).
Asumsi bahwa pertumbuhan kembali hutan setelah pemanenan sebesar 1 m3 ha-1 tahun-1, sehingga memberi hasil sebesar 35 m3 ha-1 pada akhir siklus. Namun demikian, ini merupakan taksiran tingkat pertumbuhan yang berlebihan, dan tidak memperhatikan aspek kematian (mortalitas) alami. Hutan tidak tumbuh secepat seperti yang diasumsikan.
Menurut Lamprecht (1996) pertumbuhan hutan primer riapnya kecil dan dalam skala luas besarnya mendekati nol, walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja. Untuk hutan sekunder riap awalnya besar namun lambat laun akan mengecil.
Perhitungan taksiran hasil untuk siklus kedua tidak memperhatikan kerusakan berarti yang terjadi pada tegakan sisa akibat penebangan. Praktek pemanenan yang kurang baik mengakibatkan pembukaan tajuk dan meningkatkan persaingan antara jenis dipterocarps komersial dengan jenis yang senang dengan cahaya. Belum banyak upaya dilakukan untuk mengurangi kerusakan akibat penebangan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan areal hutan.
Ragam ekosistem hutan di Indonesia sangat tinggi baik dalam sebaran horizontal (dari garis katulistiwa ke garis lintang utara maupun selatan) maupun vertikal (ketinggian tempat mulai dari dataran pantai sampai gunung yang tinggi) yang diikuti ragam jenis yang tinggi pula. Untuk memudahkan pemahamannya, ragam tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi ekologisnya dengan membagi hutan produksi menjadi 2 kelompok besar yaitu:
a. kelompok tipe zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim
b. kelompok tipe azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat.
Kelompok zonal merupakan kelompok ekosistem yang sangat tergantung pada intensitas curah hujan sehingga atas dasar faktor ini pula dapat dibedakan menjadi tipe hutan tropika humida, tropika musim, savana dan lain-lain. Kelompok ini masih dapat dibedakan (diklasifikasi) lagi berdasarkan faktor lain seperti tinggi tempat, jenis tanah, topografi dan sebagainya. Hutan produksi sebagian besar (lebih dari 80%) termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika humida dan tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua Barat, sedangkan sisanya termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika musim dan tersebar di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu kelompok azonal keberadaannya sangat ditentukan oleh habitat aslinya dan hampir tidak terpengaruh oleh curah hujan, antara lain adalah ekosistem hutan mangrove, pantai, gambut, kerangas, terumbu karang, black water ecosystem dan sebagainya.
Ragam ekosistem hutan tersebut membawa konsekuensi karakteristik / perilaku ekosistem yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian hutan bukan hanya sekedar kumpulan jenis flora dan fauna pada habitat tertentu, akan tetapi jenis-jenis tersebut bersama-sama dengan faktor biofisik yang lain membentuk satuan ekosistem yang berinteraksi sangat erat (Sajise: 1975; 1977a; 1977b). Oleh karena itu informasi interaksi ini harus terus digali agar dapat memberikan landasan pengelolaan/ budidaya ekosistem yang bersangkutan, peningkatan produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan.
Jika keragaman ekosistem hutan produksi ini telah diyakini, maka keseragaman pengelolaan hutan seperti yang terjadi selama ini sungguh tidak tepat, apalagi bila motif utama pengelolaan adalah kepentingan ekonomi. Sebagai contoh misalnya (1) peraturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak terpusatkan akan tetapi diadakan di setiap propinsi (2) peraturan TPTI disesuaikan dengan karakteristik hutan yang dimaksud dan (3) pengalaman budi daya hutan jati yang termasuk dalam ekosistem tropika musim diterapkan begitu saja di Hutan Tanaman Industri (HTI) di hutan tropika humida. Pada saat ini terdapat semacam pemaksaan kehendak pada suatu ekosistem hutan sehingga berakibat degradasi hutan. Hutan tropika humida yang dicirikan dengan lahan yang miskin hara, keasaman tinggi, curah hujan tinggi dan lain sebagainya (sering disebut sebagai fragile ecosystem) berubah menjadi habitat yang ideal bagi tropika humida yang mempunyai struktur (susunan) tertentu, setidaknya digambarkan pada kondisi aslinya. Namun dengan berubahnya struktur secara drastis akibat tebangan, penanaman atau metode silvikultur yang lain berubah pula atribut fungsionalnya sampai pada kemundurannya. Apalagi variasi berbagai faktor lingkungan biofisik yang tinggi, maka keseragaman metode pengelolaan sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan dan pelestarian hutan.
Tujuan pengelolaan hutan seperti yang dimaksud dalam UU No. 41 tahun 1999 ini mengisyaratkan bahwa produk hutan sudah semestinya bukan didasarkan atas kayu saja, melainkan produk seluruh potensi ekosistem hutan sesuai kemampuan optimal ekosistem yang bersangkutan secara lestari. Sudah harus dimulai bahwa penentuan AAC (annual available cut) ditentukan bukan berdasarkan pada konsumsi kayu (baik legal maupun illegal cutting), akan tetapi lebih pada kemampuan ekosistem hutan dan atau kesejahteraan masyarakat sekitar.
Perhitungan Jatah Tebangan Tahunan (AAC) didasarkan atas total volume kayu komersial (diukur melalui inventarisasi) yang dikalikan dengan ‘faktor eksploitasi 0,8 dan kemudian dengan ‘faktor keamanan 0,7 (total 0,56) serta membagi jumlah total dengan 35 tahun. Sistem ini merupakan bentuk pengaturan hasil, namun angkanya bersifat statis dan tidak didasarkan pada karakteristik areal hutan bersangkutan. Dalam banyak hal, ini telah mengakibatkan terjadinya pemanenan berlebih (overcutting atau undercutting). Selain itu, kegiatan inventarisasi seringkali terlalu menekankan pada keberadaan jenis komersial, dan faktor eksploitasi yang diukur di lapangan adalah 0,5 (Matikainen, Herika & Muntoko, 1998).
Asumsi bahwa pertumbuhan kembali hutan setelah pemanenan sebesar 1 m3 ha-1 tahun-1, sehingga memberi hasil sebesar 35 m3 ha-1 pada akhir siklus. Namun demikian, ini merupakan taksiran tingkat pertumbuhan yang berlebihan, dan tidak memperhatikan aspek kematian (mortalitas) alami. Hutan tidak tumbuh secepat seperti yang diasumsikan.
Menurut Lamprecht (1996) pertumbuhan hutan primer riapnya kecil dan dalam skala luas besarnya mendekati nol, walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja. Untuk hutan sekunder riap awalnya besar namun lambat laun akan mengecil.
Perhitungan taksiran hasil untuk siklus kedua tidak memperhatikan kerusakan berarti yang terjadi pada tegakan sisa akibat penebangan. Praktek pemanenan yang kurang baik mengakibatkan pembukaan tajuk dan meningkatkan persaingan antara jenis dipterocarps komersial dengan jenis yang senang dengan cahaya. Belum banyak upaya dilakukan untuk mengurangi kerusakan akibat penebangan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan areal hutan.
Ragam ekosistem hutan di Indonesia sangat tinggi baik dalam sebaran horizontal (dari garis katulistiwa ke garis lintang utara maupun selatan) maupun vertikal (ketinggian tempat mulai dari dataran pantai sampai gunung yang tinggi) yang diikuti ragam jenis yang tinggi pula. Untuk memudahkan pemahamannya, ragam tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi ekologisnya dengan membagi hutan produksi menjadi 2 kelompok besar yaitu:
a. kelompok tipe zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim
b. kelompok tipe azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat.
Kelompok zonal merupakan kelompok ekosistem yang sangat tergantung pada intensitas curah hujan sehingga atas dasar faktor ini pula dapat dibedakan menjadi tipe hutan tropika humida, tropika musim, savana dan lain-lain. Kelompok ini masih dapat dibedakan (diklasifikasi) lagi berdasarkan faktor lain seperti tinggi tempat, jenis tanah, topografi dan sebagainya. Hutan produksi sebagian besar (lebih dari 80%) termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika humida dan tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua Barat, sedangkan sisanya termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika musim dan tersebar di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu kelompok azonal keberadaannya sangat ditentukan oleh habitat aslinya dan hampir tidak terpengaruh oleh curah hujan, antara lain adalah ekosistem hutan mangrove, pantai, gambut, kerangas, terumbu karang, black water ecosystem dan sebagainya.
Ragam ekosistem hutan tersebut membawa konsekuensi karakteristik / perilaku ekosistem yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian hutan bukan hanya sekedar kumpulan jenis flora dan fauna pada habitat tertentu, akan tetapi jenis-jenis tersebut bersama-sama dengan faktor biofisik yang lain membentuk satuan ekosistem yang berinteraksi sangat erat (Sajise: 1975; 1977a; 1977b). Oleh karena itu informasi interaksi ini harus terus digali agar dapat memberikan landasan pengelolaan/ budidaya ekosistem yang bersangkutan, peningkatan produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan.
Jika keragaman ekosistem hutan produksi ini telah diyakini, maka keseragaman pengelolaan hutan seperti yang terjadi selama ini sungguh tidak tepat, apalagi bila motif utama pengelolaan adalah kepentingan ekonomi. Sebagai contoh misalnya (1) peraturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak terpusatkan akan tetapi diadakan di setiap propinsi (2) peraturan TPTI disesuaikan dengan karakteristik hutan yang dimaksud dan (3) pengalaman budi daya hutan jati yang termasuk dalam ekosistem tropika musim diterapkan begitu saja di Hutan Tanaman Industri (HTI) di hutan tropika humida. Pada saat ini terdapat semacam pemaksaan kehendak pada suatu ekosistem hutan sehingga berakibat degradasi hutan. Hutan tropika humida yang dicirikan dengan lahan yang miskin hara, keasaman tinggi, curah hujan tinggi dan lain sebagainya (sering disebut sebagai fragile ecosystem) berubah menjadi habitat yang ideal bagi tropika humida yang mempunyai struktur (susunan) tertentu, setidaknya digambarkan pada kondisi aslinya. Namun dengan berubahnya struktur secara drastis akibat tebangan, penanaman atau metode silvikultur yang lain berubah pula atribut fungsionalnya sampai pada kemundurannya. Apalagi variasi berbagai faktor lingkungan biofisik yang tinggi, maka keseragaman metode pengelolaan sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan dan pelestarian hutan.
No comments:
Post a Comment